Jumat, 08 Agustus 2008

New Officer Old Face

Aku baru saja menyelesaikan sarapan pagi sambil bercanda dengan ponakan yang masih tertidur lelap, Capt. Mirwan menelpon dan akan menjemputku sebentar lagi.

Asyiek menyimak liputan berita pagi di televisi dan sesekali melihat serombongan anak-anak pelajar bersepeda dari daerah pinggiran menuju kota kabupaten. Aku merasa SALUT mereka mengayuh sepeda sejauh puluhan kilometer ke kota hanya ingin menjadi cerdas dan pintar walau mereka harus bersaing dengan rekan-rekan mereka yang dominan lebih mampu dan menunggang kuda besi, sungguh sangat mengetuk jiwa ternyata pemandangan ini tidak lenyap ditelan jaman.

Capt. Mirwan datang menjemputku, dan kami langsung menuju kantor Pertamina, perusahaan yang mengontrak tenaga kami untuk tugas disana demi menggantikan petugas mereka yang sedang upgrade training dan sekalian sertifikasi dengan bidang yang sama kami geluti yaitu navigasi.

Setelah disana aku belum mengerti kenapa bandara sekecil ini mesti kami berdua yang menangani. Seorang sersan bagian Teknik Navigasi Angkatan Udara pun sebenarnya mampu menghandel tugas ini tapi duty call merupakan perintah komando apa boleh buat. Kita prajurit mah nurut apa kata komandan.

Capt. Mirwan tugasnya melayani Pertamina dan aku sendiri melayani perusahaan (x) yang menggunakan jasa penerbangan dan kebetulan kantornya berdekatan. Pada dasarnya tugas kami shift-shift-an namun walaupun begitu tetap saja kami ke Warukin berdua.

Hari ini memang tidak ada kegiataan penerbangan jadi today is simple alias nyante, setelah selesai melapor ke HRD perusahaan - perusahaan tadi, kami coba untuk menginventarisir perangkat navigasi di bandara Warukin yang jaraknya hampir 15 kilometer dari kota.

* * *

Replacement Tool

Sesampai di bandara ternyata beberapa perangkat ada yang tidak berfungsi bahkan sama sekali tidak sesuai standar. NDB (Non Direct Beacon) di sebelah selatan bandara tidak berfungsi, untung saja Capt. Mirwan adalah orang yang tepat dalam kondisi ini. Hanya gara-gara kurang dirawat saja, accu utama sudah soak untung ada accu cadangan, tidak begitu lama kerjaan beres.

Keberadaan NDB sangat penting untuk pesawat yang tidak dilengkapi GPS, maka pesawat akan sangat dibantu dengan signal yang di-broadcast oleh NDB untuk menentukan arah bandara yang dimaksud, setidaknya pesawat tidak kesasar istilah lain dikenal dengan Instrument Flight Rule.

Betapa kaget lagi setelah petugas jaga membukakan pintu tower ternyata tidak ada satupun radio untuk navigasi disana. lah gimana bisa komunikasi dengan pesawat ??? Separah itu kah bandara kota kelahiranku?? Menurut berita radio hilang dicuri, tapi kenapa radio seharga ratusan juta untuk navigasi dan bersifat vital tersebut bisa raib begitu saja dan tidak ada tindak lanjut dari pihak yang bersangkutan selaku penanggung jawab otoritas bandara, ah ini mah ada unsur politis, and again... its really perfect aliby….

Keberadaan Radio sangat-sangatlah vital, setelah pesawat dituntun secara instrument di ketinggian > 1000 feet sebelum melakukan approach dan landing maka pesawat mengontak tower control untuk memastikan jalur yang akan digunakan oleh pesawat aman untuk diterbangi hingga pesawat dapat mendarat, disinilah komunikasi antara awak dan tower menjadi sangat penting dan medianya tentulah tidak lain dan tidak bukan yaitu radio.

Capt. Mirwan menghubungi pihak Pertamina selakku pemilik bandara namun pihak Pertamina menyangkal bahwa managemen bandara sekarang diambil alih oleh perusahaan x jadi yang mesti bertanggung jawab atas otoritas bandara selama ini ya perushaan x dong. Akhirnya jawaban dari mereka besok kami sudah bisa mendapatkan gantinya.

Keesokan pagi kami diminta datang ke kantor humas perusahaan x dan mereka menyodorkan radio pengganti yang jauh dari standar. Melihat mereka memberikan radio tersebut aku langsung terbelalak, tentunya lain lagi dengan Capt. Mirwan mukanya langsung memerah dan mencak-mencak dengan seisi departemen humas.

Saya jauh-jauh datang kemari untuk mengontrol navigasi, bukannya nge-break!, beberapa hari lagi dirjen perhubungan akan datang masa saya harus mempertaruhkan keselamatan mereka dengan radio murahan ini “ dengan nada kesal Capt. Mirwan mencaci maki.

Saya bertugas untuk standarisasi dan sertifikasi di bidang penerbangan khususnya navigasi di daerah ini yang tanggung jawabnya ditujuan ke Pertamina dan perusahaan ini, namun berhubung bandara Warukin diambil alih oleh perusahaan ini maka perusahaan ini lah yang kami audit, terus belum apa-apa malah bermasalah dengan alat se-vital ini, masa kami dikasih radio amatiran??? Padahal kalo dihitung-hitung berapa siha harga radio dibanding dengan berton-ton batubara yang diambil dari tempat ini???" Marahnya Capt. Mirwan berapi-api, dan dia tetap bersemangat untuk ngomel.

"Ini namanya mendiskreditkan profesi kami, ya saya akui saya memang petugas baru disini tapi kami lebih duluan daripada Anda-anda sekalian menghirup udara Tanjung yang bisanya hanya mengeruk hasil bumi Saraba KawaRupanya Mirwan jengkel sekali dengan perusahaan x yang memperlakukannya seperti itu. Aku pun baru mengetahui kalau tugas kami adalah bukan hanya melayani perusahaan tersebut tapi kami ditugaskan oleh markas untuk menghandel kedatangan pejabat setingkat dirjen dalam acara kunjungan ke daerah.

Otomatis radio pengganti yang dijanjikan ditolak oleh Capt. Mirwan dan tanpa banyak pikir Capt. Mirwan langsung menuju Pertamina untuk minta bantuan radio yang dulu pernah kupakai di tower yang sama, ternyata radio itu sudah tidak layak pakai akan tetapi radio portabel yang lebih canggih sudah disediakan namun statusnya sewa dengan perusahaan El-Nusa, konon sewanya perhari radio itu 7 juta rupiah, masa bodoh mengenai harga toh yang bayar bukan kami, melainkan perusahaan x.

Karena portabel bentuknya mirip dengan laptop, maka kami bisa membawanya dengan menjinjing, radio ini kami bawa dengan menggunakan motor saja, terbesit dalam hati bahwa sekarang ini aku dengan Capt. Mirwan sedang membawa perangkat seharga Rp.900 juta terus hanya ditenteng lagi...!! (Gila).

Yang menurutku lebih gila lagi adalah Capt. Mirwan, saat dalam perjalanan menuju Warukin karena penasaran dengan harganya semahal itu di atas motor yang kukendarai Capt. Mirwan sempat melakukan tuning kalibarasi frequensi (ha….ha…..ha….) dasar orang gila navigasi.

Manual kami pelajari dan wajar saja harganya mahal, radio itu bukan hanya untuk komunikasi tapi juga dapat berlaku sebagai repeater dan dapat mendeteksi benda terbang sekitar 20-22 kilometer, kan di Warukin tidak ada radar…

Petugas baru muka lama, kami memang baru akan tetapi kami sudah pernah bertugas disini. Capt. Mirwan sungguh orang yang idealis dalam sertifikasi tidak pandang bulu dengan siapakah dia akan berhadapan, bermodalkan sertifikasi FAA (Fedration Aviation Association) yang sudah dikantongi dan selalu up to date, yang seharusnya cukup tiga tahun sekali tapi Capt. Mirwan memang beda asal ada waktu setiap tahun pun dia akan berusaha untuk up to date kualifikasi FAA tersebut. Sertifikasi Eropa, jebolan Swinburne wah ini mah sama aja seperti "masa Buaya dikadalin..??"

Kupikir wajar Capt. Mirwan berlaku seperti itu, memang itulah tugas dia tugas ku juga. Toh semuanya untuk keselamatan penerbangan juga, seandainya kami tidak kemari mungkin kami tidak akan tahu sejauh mana kesiapan dan kelayakan aktivitas penerbangan di kota ini.

Thats all story "New Officer Old Face" dedicated to Let.Col. Mirwan

* * *

Pelampiasan Sakit Hati

Tidak ada komentar: